
Di era digital saat ini, praktik qurban tidak lagi terbatas pada penyembelihan langsung oleh individu atau keluarga secara fisik di tempat. Model qurban kolektif dan digital telah muncul sebagai solusi kontekstual atas tantangan zaman, seperti urbanisasi, keterbatasan lahan, efisiensi biaya, serta kebutuhan akan distribusi manfaat yang lebih luas dan merata. Konsep qurban kolektif bukanlah hal baru secara syariat. Qurban secara akar bahasa berasal dari Bahasa Arab ‘Qurbaan’ قربان) ( yang berarti ‘dekat’. Rasulullah saw.,bersabda: الصلا قربان والصوم جنة (Shalat adalah qurban mendekatkan diri dan puasa adalah perisai). Berdasarkan hadist tersebut bahwa ibadah qurban adalah suatu ibadah yang dilaksanakan dalam rangka mendekatkan diri hamba kepada allah swt.,yang dilaksanakan secara khusus dengan menyembelih hewan qurban. Ibadah ini disyariatkan melalui peristiwa monumental pengorbanan Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail, sebagai simbol ketundukan total kepada perintah Ilahi. Seiring perkembangan zaman, umat Islam terus melaksanakan ibadah ini dengan berbagai adaptasi sosial dan teknologis.
Ibadah qurban selain menjadi kewajiban Syar’I bagi umat islam yang berkemampuan ternyata juga mengandung dimensi sosial-ekonomi. Ibadah ini juga dapat terus menggugah dan mendidik umat islam agar memiliki kepedulian terhadap orang lain, terutama untuk mereka yang secara ekonomi belum mampu berqurban. Dalam masyarakat urban yang padat penduduk dan memiliki keterbatasan ruang serta biaya hidup yang tinggi, qurban kolektif menawarkan solusi partisipatif. Beberapa orang dapat bergotong royong membeli satu ekor sapi dan berbagi pahala serta manfaatnya. Model ini juga mendorong kesadaran sosial yang lebih tinggi, karena menanamkan nilai kebersamaan dan kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat sekitar.
Transformasi digital dalam pelaksanaan qurban semakin meluas dengan hadirnya platform daring yang memfasilitasi proses mulai dari pemesanan hewan qurban, pembayaran, hingga distribusi daging. Melalui aplikasi dan situs web, masyarakat dapat memilih jenis hewan, lokasi penyembelihan, bahkan memantau laporan penyembelihan secara real-time atau dalam bentuk dokumentasi audiovisual. Digitalisasi ini memberikan berbagai keuntungan, antara lain:
- Aksesibilitas, Masyarakat di mana pun, bahkan diaspora Muslim di negara non-Muslim, dapat melaksanakan qurban dengan mudah.
- Transparansi, Laporan dokumentatif memberikan jaminan bahwa ibadah terlaksana sesuai syariat.
- Efisiensi, Distribusi Daging qurban dapat didistribusikan ke daerah yang benar membutuhkan, termasuk daerah konflik dan bencana
Meski demikian, penggunaan teknologi dalam ibadah tetap perlu diawasi agar tidak mengaburkan aspek ruhaniah dan niat tulus dalam berqurban. Proses digital harus tetap mengedepankan nilai syariat dan etika Islam. Di balik proses teknis yang semakin canggih, substansi ibadah qurban tetap tidak berubah: ketakwaan, kepatuhan, dan solidaritas sosial. Alquran dengan tegas menyatakan bahwa:
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ
Terjemahnya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (QS. Al-Hajj: 37).
Dalam konteks kekinian, qurban menjadi sarana aktualisasi diri seorang Muslim dalam menjawab tantangan zaman mulai dari konsumerisme, ketimpangan sosial, hingga alienasi spiritual. Ibadah qurban yang dijalankan secara kolektif dan digital mampu menyatukan dimensi vertikal (pengabdian kepada Allah) dan horizontal (kepedulian terhadap sesama). Lebih dari sekadar ritual tahunan, qurban zaman now mengajarkan bahwa pengorbanan, kebersamaan, dan teknologi dapat disinergikan untuk menciptakan keberkahan yang lebih luas dan berkelanjutan.
Sebagai penutup bahwa Qurban zaman now bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi juga tentang membangun kesadaran kolektif, memanfaatkan teknologi untuk kebaikan, dan memperkuat makna spiritual di tengah derasnya arus modernitas. Praktik kolektif dan digital tidak meniadakan esensi qurban, tetapi justru memperluas jangkauannya. Maka, perlu terus dikembangkan pendekatan yang adaptif, syar’i, dan bermakna, agar ibadah qurban tetap menjadi sumber transformasi diri dan sosial di era modern ini.
Penulis : Halik S. Maranting