Madrasah sebagai institusi pendidikan keagamaan tidak hanya menjadi ruang belajar formal, tetapi juga wahana tumbuhnya solidaritas sosial, terutama dalam komunitas agraris seperti Desa Langge. Di tengah dinamika rapat rutin yang digelar oleh Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Kota Gorontalo, terselip ruang jeda yang dimanfaatkan penulis untuk menyambangi salah satu warga, Pak Yasin Namanya beliau adalah petani sederhana yang menggantungkan hidup dari budidaya paria (momordica charantia), tanaman yang dikenal pahit namun memiliki banyak khasiat. Kunjungan singkat ini membuka jendela kontemplasi tentang bagaimana masyarakat desa merajut cita-cita melalui kerja keras, kesabaran, dan harapan akan masa depan yang lebih baik, terutama dalam hal pendidikan anak-anak mereka.

Pak Yasin merupakan representasi dari banyak petani kecil di Gorontalo yang hidup dalam keterbatasan namun menyimpan tekad besar untuk memutus rantai keterbelakangan melalui pendidikan. Paria, yang menjadi komoditas utamanya, adalah simbol perjuangan: tumbuh di tanah yang keras, dirawat penuh ketekunan, dan akhirnya menghasilkan buah yang pahit namun bermanfaat. Dalam diskusi santai, Pak Yasin bercerita tentang fluktuasi harga, ketergantungan pada musim, dan minimnya akses terhadap pasar yang adil. Namun, di balik segala keterbatasan itu, terdapat satu cita-cita sederhana namun mendalam: agar anak-anaknya tidak lagi harus “memetik paria” untuk bertahan hidup, melainkan bisa mengenyam pendidikan yang layak dan meraih masa depan yang lebih baik.

Refleksi dari pertemuan ini mengafirmasi pentingnya kehadiran lembaga pendidikan khususnya madrasah di desa, bukan sekadar sebagai institusi formal, tetapi sebagai simpul harapan. Madrasah tidak berdiri di ruang kosong. Ia tumbuh dalam jaringan sosial masyarakat yang penuh dinamika. Rapat rutin yang dilakukan tidak hanya menjadi forum manajerial atau administratif, tetapi juga menjadi titik temu antara idealisme pendidik dan realitas warga. Ketika pendidikan difungsikan sebagai jalan keluar dari siklus kemiskinan struktural, maka kunjungan seperti ini menjadi bagian penting dari kerja kultural yang mendasari transformasi sosial.

Pertemuan dengan Pak Yasin bukan hanya memberi informasi tentang kondisi petani paria, tetapi juga menjadi cermin untuk melihat kembali fungsi madrasah dalam kehidupan masyarakat desa. Diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif agar pendidikan benar menyentuh kebutuhan nyata warga. Dalam konteks ini, dialog antara pendidik, pengelola madrasah, dan masyarakat harus terus dibangun agar cita-cita yang manis itu tidak hanya menjadi wacana, tetapi menjadi realitas yang bisa dinikmati generasi mendatang.

Cita-cita manis yang terselip di balik pahitnya paria milik Pak Yasin menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan hanya proses transfer ilmu, tetapi sebuah gerakan sosial yang mampu mengangkat harkat manusia. Kunjungan sederhana ini, di sela rapat rutin, telah menjadi titik balik refleksi tentang bagaimana pendidikan dan masyarakat saling memperkuat dalam bingkai cita-cita bersama. Pondok DSP dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Kota Gorontalo di Desa Langge menjadi saksi bahwa dari ladang yang sederhana, lahir harapan besar yang siap dipanen di masa depan.