
Perkembangan pesat teknologi digital dan disrupsi global telah mendorong lahirnya konsep Society 5.0, sebuah tatanan masyarakat yang mengintegrasikan teknologi canggih dengan nilai kemanusiaan. Sejalan dengan itu, dunia pendidikan juga mengalami pergeseran menuju Pendidikan 5.0, yang tidak hanya berfokus pada digitalisasi dan kecerdasan buatan, tetapi juga menekankan nilai sosial, etika, dan spiritual dalam praktik pembelajaran. Dalam kerangka ini, guru tidak hanya dituntut untuk menguasai literasi digital, tetapi juga mampu memadukan kemampuan tersebut dengan nilai kemerdekaan serta pendekatan pembelajaran yang humanis dan berlandaskan kasih sayang, atau yang disebut sebagai kurikulum cinta. Narasi ini bertujuan untuk menjelaskan pentingnya integrasi antara nilai kemerdekaan dan kurikulum cinta sebagai strategi penguatan literasi digital guru dalam menghadapi tantangan transformasi Pendidikan 5.0. Konsep Pendidikan 5.0 muncul sebagai respon terhadap keterbatasan model pendidikan sebelumnya yang terlalu teknokratis dan cenderung mengabaikan dimensi kemanusiaan. Pendidikan 5.0 mengusung pendekatan yang menggabungkan pemanfaatan teknologi dengan nilai sosial, spiritual, dan emosional, yang pada dasarnya menempatkan manusia sebagai pusat pengembangan ilmu dan teknologi (Nugroho, 2020). Dalam konteks ini, literasi digital menjadi salah satu pilar utama, yang mencakup kemampuan guru dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) secara bijak, kreatif, dan etis untuk menunjang proses pembelajaran.
Framework UNESCO Mengemukakan bahwa literasi digital guru tidak hanya mencakup keterampilan teknis, tetapi juga keterampilan pedagogis dan sosial dalam menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Sayangnya, kesenjangan digital dan keterbatasan kapasitas pedagogis digital masih menjadi tantangan besar di berbagai satuan pendidikan, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Nilai kemerdekaan seperti kebebasan berpikir, keadilan, tanggung jawab, dan kemandirian merupakan fondasi penting dalam pendidikan yang membebaskan. Paulo Freire Mengemukakan bahwa pendidikan harus menjadi proses pembebasan, bukan penindasan, di mana guru dan siswa berada dalam dialog sejajar. Dalam konteks Indonesia, semangat kemerdekaan yang diperingati setiap Agustus merupakan momen penting untuk merefleksikan kembali peran guru dalam membangun pendidikan yang merdeka, adil, dan inklusif. Integrasi nilai kemerdekaan dalam pendidikan memungkinkan guru menjadi subjek aktif dalam mencipta dan mengelola pembelajaran, bukan sekadar pelaksana kurikulum yang bersifat instruksional. Hal ini sejalan dengan visi Merdeka Belajar, di mana guru diberi ruang untuk berinovasi, menyesuaikan metode pengajaran dengan kebutuhan peserta didik, serta mengintegrasikan teknologi secara kreatif tanpa kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa.
Kurikulum Cinta sebagai Pilar Humanisasi Digital
Kurikulum cinta merupakan pendekatan pendidikan yang menekankan nilai kasih sayang, empati, penghormatan terhadap martabat manusia, dan perhatian terhadap aspek emosional dan spiritual peserta didik. Konsep ini banyak terinspirasi dari pemikiran tokoh-tokoh pendidikan humanistik seperti Maria Montessori, Ki Hajar Dewantara, dan Nel Noddings. Dalam A Philosophy of Education, Noddings menekankan bahwa “caring” adalah esensi dari relasi pendidikan yang otentik dan bermakna. Kurikulum cinta tidak menolak teknologi, tetapi memastikan bahwa penggunaannya tidak menyingkirkan aspek kemanusiaan dalam pendidikan. Guru yang menerapkan kurikulum cinta akan memperlakukan teknologi sebagai alat untuk memperkuat hubungan, bukan sekadar menggantikan interaksi manusia. Di era digital yang rentan terhadap dehumanisasi, pendekatan ini menjadi semakin penting agar pendidikan tidak kehilangan ruh kemanusiaannya. Penguatan literasi digital guru dalam kerangka Pendidikan 5.0 harus dilakukan melalui integrasi nilai-nilai kemerdekaan dan pendekatan kurikulum cinta. Guru perlu memahami bahwa digitalisasi bukan semata-mata tentang perangkat, aplikasi, atau platform, melainkan tentang cara baru untuk menghadirkan pembelajaran yang bermakna, partisipatif, dan transformatif. Pendekatan integratif ini dapat diwujudkan melalui beberapa strategi:
- Pelatihan literasi digital berbasis nilai: Program peningkatan kapasitas guru harus memasukkan unsur refleksi nilai nasionalisme dan pendidikan humanistik, bukan hanya aspek teknis penggunaan TIK.
- Pengembangan kurikulum kontekstual: Guru perlu didorong untuk menyusun bahan ajar digital yang mengandung nilai cinta tanah air, toleransi, dan kasih sayang antarindividu.
- Pemanfaatan teknologi untuk menumbuhkan relasi: Guru perlu menggunakan platform digital sebagai ruang untuk membangun dialog, kolaborasi, dan empati, bukan sekadar transmisi pengetahuan satu arah.
Beberapa studi telah menunjukkan efektivitas pendekatan berbasis nilai dalam penguatan literasi digital guru. Penelitian oleh Rahmah menemukan bahwa guru yang mengintegrasikan nilai kearifan lokal dan karakter dalam pembelajaran digital lebih mampu menjalin kedekatan emosional dengan siswa, sekaligus meningkatkan keterlibatan mereka dalam proses belajar. Di sisi lain, inisiatif seperti Platform Merdeka Mengajar dari Kemendikbudristek menunjukkan bagaimana teknologi dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran berbasis refleksi nilai dan kebebasan berpikir. Guru diberi ruang untuk berbagi praktik baik, belajar mandiri, dan mengembangkan portofolio digital yang merefleksikan nilai kemerdekaan dalam profesionalisme mereka.
PENUTUP
Transformasi pendidikan ke arah Pendidikan 5.0 menuntut pendekatan yang tidak hanya berfokus pada penguasaan teknologi, tetapi juga berlandaskan pada nilai-nilai kemerdekaan dan pendekatan pedagogis yang humanistik. Dalam konteks ini, integrasi nilai kemerdekaan dan kurikulum cinta menjadi strategi kunci dalam penguatan literasi digital guru. Pendidikan yang memerdekakan dan penuh kasih adalah fondasi dari sistem pembelajaran yang relevan, inklusif, dan bermakna di era digital. Guru sebagai aktor utama perubahan pendidikan perlu diberdayakan secara utuh baik secara teknologis maupun secara nilai agar mampu menjawab tantangan dan peluang zaman dengan tetap menjaga esensi kemanusiaan dalam setiap proses pembelajaran.
Penulis : Halik S. Maranting